
“I’m on my way… I’m on my way.. home sweet home” (motley crue)
Minggu malam di penghujung November, hawa dingin nya masih setia mendekap tubuh ini. Sudah hampir seperempat jam saya menghabiskan waktu di salah satu halte menunggu angkutan untuk pulang ke rumah. Jam sudah menunjukan pukul dua pagi dimana sebagian besar orang mungkin telah terlelap nyaman dirumahnya masing masing. pandangan saya pun tertuju pada seorang bapa disebrang saya yang Nampak tertidur nyaman di depan sebuah toko yang sudah tutup.
Mungkin bagi sang bapa, kota ini adalah rumahnya, dan setiap sudut yang ada adalah ruang istirahat untuk merebahkan diri dan mendekap mimpi setelah seharian bergelut dengan sombongnya hari. Memang tak ada lagi tempat yang lebih indah selain rumah untuk kita kembali setelah kita lelah berkurusetra dengan keseharian.
Apabila ini adalah tulisan terakhir yang bisa saya tulis, saya pun hanya ingin berada di rumah menikmati setiap sudut nya yang Nampak muram termakan jaman, catnya yang kusam, hiasan jaring laba laba di beberapa pojokan dan noda noda bekas rembesan air di lelangitannya hasil dari memory hujan bulan November yang beberapa hari terakhir rutin datang menyapa. Seburuk apapun rupanya, rumah tetaplah sebuah tempat tinggal yang indah dengan kenyamanan serta kenangan yang dimilikinya.
Sebuah istilah menyebutkan “Rumahku adalah istanaku”, tempat tinggal dimana kita bertahta dari setiap mimpi yang kita punya, serta berkuasa akan setiap jengkal cita cita kehidupan yang kita jalani. Rumah tempat kita tumbuh dan belajar mendapatkan bekal disaat kita memutuskan membuka pintu untuk pergi melangkah mencari berbagai pelajaran yang lebih luas dan lebih besar di dunia luar.
Rumah pula lah tempat kita berpulang, tempat kita merebahkan diri dalam lelap atupun berkeluh kesah ketika dunia luar Nampak tak bersahabat dan terlalu sombong hingga membully kita dalam berjutaan kenyataan yang menghempaskan semua cita cita yang pada awalny kita bawa penuh harap ketika pergi meninggalkan rumah.
Kita juga mengenal istilah “Broken Home” dimana rumah dapat berubah menjadi sebuah tragedy ketika setiap bagian serta penghuni di dalam nya tak lagi berfungsi serta saling peduli. Rumah tak lagi menawarkan kenyamanan untuk sekedar beristarahat dan terlelap, tak lagi aman untuk berkeluh kesah karena semua yang ada hanya hadir dalam resah. Disaat seperti ini Rumah pun menjadi kambing hitam dari semua permasalahan, dijustifikasi, di caci maki dan menelantarkan semua yang ada didalmnya karena para penghuninya tak dapat lagi saling mempercayai.
Kembali kepada bapa yang sedang berbaring di sebrang jalan tadi, apabila kota ini adalah rumahnya, mudah mudahan dia tidak sedang menjadi korban “broken home” dari kota yang menjadi rumahnya. Angkutan yang saya tunggu telah tiba, waktunya untuk pulang sampai jumpa di tulisan selanjutnya.
(GI’13)
No Comments Yet...